Minggu, 27 Juni 2010

Hukum Jual Beli di Masjid

بسم الله الرحمن الرحيم

Di dalam masjid kita hanya boleh melakukan shalat baik sunnah maupun fardhu, membaca Al-Qur'an dan membicarakan masalah keagamaan/dakwah, dzikir, atau diam duduk/iktikaf. Mengenai pembicaraan duniawi dalam bentuk apapun dilarang sesuai dengan firman Allah dalam surat An Nur 36-38 : " Masjid diperuntukkan untuk dzikir, shalat, dan membaca Al-Qur'an dan menyampaikan ilmu dinul Islam " (lihat pula Fatawa Allajnah Ad Daimah: 6/279).

Dan jual beli di dalam masjid juga dilarang berdasarkan hadits:
"Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: Apabila kalian melihat orang yang jual beli didalam masjid maka katakanlah kepadanya: Semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam jual belimu ! (HR Tirmidzi 1321, Ad-Darimi 1408, Ibnu Khuzaimah 1305, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 312, Ibnu Jarud 562, Ibnu Sunni dalam Amal Yaum Wa Lailah 153, Hakim 2/56, dan dia berkata: Shahih menurut syarat Imam Muslim, dan disetujui oleh Adz-Zahabi. Al-Albani menshahihkan dalam Al-Irwa 1295).
Imam As-Shan'ani berkata: "Hadits ini menunjukkan haramnya jual beli di dalam masjid, dan wajib bagi orang yang melihatnya untuk berkata kepada penjual dan pembeli semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam jual belimu ! sebagai peringatan kepadanya" (Subulus Salam 1/321). (Lihat pula An-Nail 1/455 Ats-Tsamar 2/696)

Bahkan kita dilarang mencari barang yang hilang di masjid, berdasarkan hadits:
"Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda: Barang siapa yang mendengar seseorang mencari barang yang hilang di dalam masjid maka katakanlah padanya: semoga Allah tidak mengembalikan kepadamu! sebab masjid-masjid itu dibangun bukan untuk itu. (HR. Muslim 568, Tirmidzi 1321, Abu Dawud 473, Ibnu Majah 767 dan Ad-Darimi 1408)

Tidur terlentang di masjid diperbolehkan berdasarkan hadits:"Dari Abbad Bin Tamim dari pamannya bahwasanya dia melihat Rasulullah tidur terlentang di dalam masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kakinya yang lain. (HR Bukhari 475 dan Muslim 2100).
Al-Khattabi berkata: "Hadits ini menunjukkan bolehnya bersandar, tiduran dan segala bentuk istirahat di dalam masjid" (Fathul Bari 1/729)

Dibolehkannya tidur didalam masjid bagi orang yang membutuhkannya, semisal orang yang kemalaman atau yang tidak punya sanak famili dan lainnya. Dahulu para sahabat 'Ahli Suffah (orang yang tidak punya tempat tinggal)' mereka tidur di dalam masjid. (HR. Bukhori 442). Al-Hafidz Ibnu Hajar menegaskan bahwa bolehnya tidur di dalam masjid adalah pendapat jumhur ulama (Fathul Bari 1/694).
Perhatian: Apabila seorang muslim mimpi basah sedang tidur di dalam masjid, maka hendaknya ia segera bangun dan meninggalkan masjid. (Fatwa Lajnah Daimah no. 5795)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ

“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di masjid, maka katakanlah: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” (HR. At Tirmidzi No. 1336, katanya: hasan gharib)



Hadits ini dishahihkan Imam Al Hakim, dalam Al Mustadrak ‘Alash Shahiain No. 2339. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil No. 1295, Misykah Al MashabihNo. 733, dan kitabnya yang lain.



Umar Radhiallahu ‘Anhu pernah melihat seorang bernama Al Qashir sedang berdagang di masjid, maka beliau berkata:



يَا هَذَا إِنَّ هَذَا سُوقُ الآْخِرَةِ فَإِِنْ أَرَدْتَ الْبَيْعَ فَاخْرُجْ إِِلَى سُوقِ الدُّنْيَا .

“Hei ..! sesungguhnya ini adalah pasar akhirat, jika engkau mau jualan, keluarlah ke pasar dunia!” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179)



Tertulis dalam Al Muwaththa’, dari Imam Malik:



أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَسَارٍ كَانَ إِذَا مَرَّ عَلَيْهِ بَعْضُ مَنْ يَبِيعُ فِي الْمَسْجِدِ دَعَاهُ فَسَأَلَهُ مَا مَعَكَ وَمَا تُرِيدُ فَإِنْ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَبِيعَهُ قَالَ عَلَيْكَ بِسُوقِ الدُّنْيَا وَإِنَّمَا هَذَا سُوقُ الْآخِرَةِ

“Bahwa telah sampai kepadanya tentang Atha’ bin Yasar, bahwa jika lewat di hadapannya sebagian orang yang berjualan di masjid, dia memanggilnya dan bertanya: “Kamu bawa apa? Mau apa?” Jika dikabarkan kepadanya bahwa orang tersebut mau berdagang, beliau berkata: “Hendaknya kamu ke pasar dunia, ini adalah pasar akhirat.” (Imam Malik, Al Muwaththa, No. 421)



Hadits di atas menunjukkan larangan jual beli di masjid, bahkan celaan bagi pelakunya. Tetapi apakah larangan ini bermakna haram? Seharusnya memang demikian, tetapi bagaimanakah pandangan para ulama? Umumnya mereka mengatakan makruh, ada pun Imam Ahmad, ada dua riwayat darinya; mengharamkan dan memakruhkan.



Dalam Al Mausu’ah tertulis:



وَاخْتَلَفُوا فِي صِفَةِ الْمَنْعِ ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِِلَى الْكَرَاهَةِ ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِِلَى التَّحْرِيمِ .



“Mereka berbeda pendapat tentang sifat larangannya, menurut madzhab Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah adalah makruh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) mengharamkannya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 17/179. Maktabah Misykah)



Berkata Imam At Tirmidzi Rahimahullah:



وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا الْبَيْعَ وَالشِّرَاءَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ وَإِسْحَقَ وَقَدْ رَخَّصَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ فِي الْمَسْجِدِ

“Sebagian ahli ilmu mengamalkan hadits ini, mereka memakruhkan jual beli di masjid. Inilah pendapat Ahmad dan Ishaq. Sedangkan, ahli ilmu lainnya memberikan keringanan (boleh) jual beli di masjid.” (Sunan At Tirmidzi lihat penjelasan No. 1336)



Apa yang Rasulullah doakan: “Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu.” Jelas menunjukkan ketidaksukaannya dengan aktifitas perniagaan di masjid. Maka, mana mungkin dikatakan boleh?



Imam Abu Hanifah membolehkannya, tetapi jika barang dagangannya dibawa ke masjid, maka itu makruh tanzih (makruh mendekati boleh). Sedangkan Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i memakruhkannya. Sedangkan Imam Ahmad mengharamkannya. (Fiqhus Sunnah, 3/87. Darul Kitab Al ‘Arabi)



Imam Amir Ash Shan’ani mengatakan hadits ini menunjukkan keharaman jual beli di masjid, dan kewajiban bagi yang melihatnya untuk mengatakan:Semoga Allah tidak menguntungkan perniagaanmu. Alasannya, karena nabi mengatakan: Masjid dibangun bukan untuk itu. Apakah jual beli ini sudah dalam bentuk akad? Al Mawardi mengatakan: telah disepakati, bahwa hal itu adalah akad jual beli. (Subulus Salam, 2/46) Jadi, keharaman berlaku bagi akad jual beli. Sedangkan jika baru tahap tawar menawar atau berbicara bisnis, tidak termasuk keharaman.



Sementara Imam Asy Syaukani mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas) ulama menafsirkan makna larangan dalam hadits tersebut adalah makruh jual beli di masjid. Al ‘Iraqi mengatakan bahwa telah ijma’ (aklamasi) jika telah terjadi akad jual beli di masjid, maka akad tersebut tidak boleh dibatalkan.



Imam As Syaukani lebih cenderung pada pendapat yang mengharamkan, sebab jika makna larangan adalah makruh, maka itu harus ditunjukkan olehqarinah (korelasi)nya. Sedangkan maksud dari pengucap dengan larangan secara hakiki adalah menunjukkan haramnya. Menurutnya inilah yang benar. Ada pun kesepakatan ulama bahwa jual beli tidak boleh dibatalkan dan tetap sah, maka itu tidak menafikan keharamannya. Hal itu bukan qarinah yang menunjukkan larangan adalah bermakna makruh. Sebagian sahabat Asy Syafi’i ada yang tidak memakruhkan jual beli di masjid, tetapi hadits ini membantah pendapat mereka. Para sahabat Abu Hanifah berbeda dengan pandangan umumnya, kebanyakan memakruhkan dan sedikit di antara mereka tidak memakruhkannya, namun ini pendapat yang tidak berdalil. (Nailul Authar, 2/158-159. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)



Maka, pendapat yang lebih kuat adalah akad jual beli di masjid adalah haram, mengingat larangan hadits tersebut, dan tidak ada dalil lain yang mengalihkannya menjadi makruh atau boleh. Ada pun bila belum terjadi akad, baru sekedar ‘ngobrol’ atau tawar menawar, maka tidak terlarang. Tetapi, jika sudah terlanjur terjadi akad jual beli di masjid, maka menurut ijma’ ulama akadnya tidak boleh di batalkan alias tetap sah, walau itu haram.



Sedangkan batasan masjid adalah tempat yang sudah layak untuk melaksanakan shalat tahiyatul masjid, maka itu adalah masjid. Maka, tempat parkir, taman, halaman masjid, aula, atau ruang serba guna bukan termasuk di dalamnya.



Wallahu A’lam



Sumber: Milis Assunnah & Farid Nu'man Abu Hudzaifi