Senin, 05 Juli 2010

Keutamaan Tauhid & Hal-hal yang Bertentangan Dengannya

Ustadz Zaenal Abidin

Segala puji bagi Allah Shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam.

Saudaraku seiman, berikut ini saya persembahkan kepadamu beberapa kalimat ringkas tentang keutamaan tauhid serta peringatan terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, berupa syirik dengan berbagai macamnya, dan bid’ah dengan segala ragam dan coraknya, baik yang kecil maupun yang besar.

Sesungguhnya, tauhid adalah kewajiban pertama yang diserukan oleh para rasul, dan ia merupakan landasan utama dari misi dakwah mereka. Allah Ta’ala berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut”. (QS. An Nahl : 36).

Tauhid adalah hak Allah subhanahu wata’ala yang paling besar atas hamba-hamba-Nya. Di dalam kitab “Ash Shahihain” (Shahih Bukhary dan Shahih Muslim) diriwayatkan dan Mu’adz RA, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam, bersabda : “Hak Allah atas hamba-hamba-Nya ialah, bahwa mereka beribadah (hanya) kepada-Nya dan mereka tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain”.

Maka barang siapa yang telah merealisasikan tauhid, dialah yang berhak masuk surga. Dan sebaliknya, barang siapa yang melakukan atau meyakini sesuatu yang bertentangan dan berlawanan dengannya, maka dia akan menjadi penghuni neraka. Demi eksisnya tauhid, Allah subhanahu wata’ala memerintahkan para rasul memerangi kaumnya sampai mereka (mau) beriman kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka (mau) bersaksi : bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah”. (HR. Bukhary dan Muslim).



Merealisasikan tauhid adalah jalan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sedangkan menyalahinya merupakan jalan yang menjerumuskan ke jurang kesengsaraan. Merealisasikan tauhid adalah sarana untuk menyatukan umat, merapatkan barisan dan mencapai kebersamaan dan kesepakatan. Dan segala cacat (kekurangan) dalam pelaksanaan tauhid merupakan puncak perpecahan dan kehancuran.

Ketahuilah wahai saudaraku, semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati kita semua – bahwa tidak semua orang yang mengucapkan kalimat “Laa ilaaha illa Allah”, serta merta menjadi orang yang sudah bertauhid (merealisasikannya). Akan tetapi, menurut para ulama, agar menjadi seorang yang bertauhid (muwahhid) mesti memenuhi tujuh syarat berikut ini :
Ilmu, yaitu mengetahui makna dan maksud dari kalimat tauhid itu, baik dalam hal menetapkan (itsbat) maupun menafikan (nafy). Maka tiada (yang berhak) disembah selain Allah subhanahu wata’ala.
Yakin, yaitu meyakini dengan seyakin-yakinnya akan komitmen (dari kalimat tauhid itu)
Menerima dengan hati dan lisan (perkataan) segala konsekwensinya.
Tunduk dan patuh kepada segala yang dikehendakinya.
Benar dalam mengatakannya. Artinya, apa yang dikatakannya dengan lidah mesti sesuai dengan apa yang diyakininya dalam hati.
Ikhlas dalam melakukan, tanpa dicampurinya.
Mencintai kalimat tauhid ini dengan segala konskwensinya.

Saudara-saudaraku seiman !

Sebagaimana wajibnya merealisasikan tauhid serta memenuhi syarat-syarat kalimat : Laa ilaaha illa Allah, kita juga mesti takut dan berhati-hati terhadap segala bentuk syirik, pintu-pintu dan tempat-tempat masuknya, baik itu yang kecil maupun yang besar. Karena sesungguhnya sebesar-besar kezhaliman adalah syirik. Allah subhanahu wata’ala mau mengampuni semua dosa hamba-Nya, kecuali (dosa) syirik. Dan barangsiapa yang terjerumus kedalamnya, Allah subhanahu wata’ala haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An Nisaa : 48).

Berikut ini kita kemukakan beberapa hal yang bertentangan atau dapat merusak tauhid, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama, agar anda berhati-hati terhadapnya.
Memakai penangkal dengan tujuan menolak bala atau menghilangkannya, seperti kalung dan benang, baik yang terbuat dari kuningan, tembaga, besi ataupun kulit. Perbuatan seperti itu termasuk syirik.
Mantera-mantera bid’ah dan jimat-jimat. Mantera-mantera bid’ah ialah yang mengandung rumus-rumus dan kata-kata yang tidak dipahami, meminta bantuan jin untuk mengenali penyakit atau melepaskan sihir (guna-guna). Atau memakai jimat-jimat, yaitu yang biasa dipakaikan kepada manusia atau hewan berupa benang atau ikatan, baik yang bertuliskan ungkapan (do’a) bid’ah yang tidak terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, maupun (do’a-do’a) yang terdapat dalam keduanya – menurut pendapat yang shahih. Karena hal ini dapat menjadi sarana menuju perbuatan syirik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Sesungguhnya jampi-jampian, jimat-jimat dan pelet (guna-guna) adalah syirik”. HR. Ahmad dan Abu Daud. Dan termasuk dalam hal ini, meletakkan mushaf (Al Quran) atau menggantungkan kertas, sekeping tembaga atau besi yang bertuliskan lafzhul Jalalah (nama Allah) atau ayat Kursi di dalam mobil, dengan keyakinan bahwa (tindakan) itu dapat menjaganya dari segala yang tidak diinginkan, seperti penyakit ‘Ain (yang disebabkan oleh pandangan jahat) dan seumpamanya. Demikian juga halnya, meletakkan sesuatu berbentuk telapak tangan atau lukisan, yang didalamnya terdapat gambar mata dengan keyakinan bahwa ini juga dapat mencegah penyakit ‘Ain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda : “Barang siapa yang menggantungkan sesuatu (jimat) dia akan diserahkan (urusannya) kepada jimat tersebut”. HR. Ahmad, Tirmizy dan Al Hakim.
Termasuk yang dapat merusak tauhid, meminta berkat (tabarruk) kepada seseorang atau mengusap-usap tubuhnya dan mengharapkan berkah daripadanya. Atau mencari berkat dipohon-pohon, batu-batu dan lain-lain. Bahkan Ka’bah sendiri tidak boleh mengusap-usapnya dengan tujuan mencari berkah. Umar bin Khattab ra ketika mencium Hajarul Aswad pernah berkata : “Sesungguhnya aku tahu, bahwa kamu adalah sebuah batu yang tidak dapat memberi manfa’at dan madharat. Kalau bukan karena aku pernah melihat Rasulullah SAW menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu”.
Di antara yang dapat membatalkan tauhid, menyembelih atas nama selain Allah subhanahu wata’ala, baik wali-wali, setan-setan atau jin dengan maksud mengambil manfa’at atau menghindarkan madrahat dari mereka. Ini adalah syirik besar (akbar). Sebagaimana tidak dibenarkan menyembelih atas nama selain Allah subhanahu wata’ala, tidak dibenarkan pula menyembelih di tempat penyembelihan atas nama selain Allah, sekalipun dengan niat menyembelih karena Allah subhanahu wata’ala. Hal ini dalam ra ngka menutup jalan yang dapat membawa kepada kesyirikan.
Bernadzar kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Nadzar ialah suatu ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah subhanahu wata’ala.
Meminta tolong dan perlindungan kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam berkata kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Apabila kamu ingin meminta (sesuatu), maka mintalah (hanya) kepada Allah subhanahu wata’ala, dan apabila kamu meminta pertolongan, maka minta pertolongan-lah (hanya) kepada Allah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa berdo’a (meminta sesuatu) kepada jin adalah terlarang.
Termasuk yang dapat menggerogoti keutuhan tauhid, sikap berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap wali-wali dan orang-orang shaleh dengan memberi mereka kedudukan lebih tinggi dari yang seharusnya. Misalnya berlebih-lebihan dalam memuliakan mereka, atau menyamakan kedudukan mereka dengan kedudukan para rasul atau menyamakan kedudukan mereka dengan kedudukan para rasul atau berkeyakinan bahwa mereka orang yang ma’shum (terpelihara dari berbuat dosa).
Melakukan thawaf di kuburan. Perbuatan ini termasuk syirik (menyekutukan Allah subhanahu wata’ala). Tidak dibenarkan shalat di kuburan, karena ia dapat mengantar kepada syirik, apalagi kalau shalat itu ditujukan kedanya atau dengan maksud menyembahnya. Na’uzubillah.
Demi menjaga kemurnian tauhid, kita dilarang membangun kuburan, membuat kubah-kubah dan masjid-masjid di atasnya serta menplesternya (dengan keramik, pualam, dan lain-lain).
Memakai sihir, mendatangi tukang sihir, tukang tenung (dukun), paranormal (ahli nujum) dan yang sama dengan mereka. Tukang-tukang sihir adalah (dihukum) kafir. Oleh sebab itu tidak dibenarkan mendatangi, bertanya (sesuatu) dan membenarkan mereka, sekalipun mereka dijuluki wali atau bergelar kiyai dan seumpamanya.
Thiyarah (percaya kepada petanda baik atau buruk). Yaitu merasa pesimis (sial) dengan pertanda burung, hari, bulan ataupun seseorang. Semua kepercayaan seperti ini tidak dibolehkan sama sekali, karena thiyarah itu adalah syirik sebagaimana disebutkan dalam hadist.
Termasuk yang dapat merusak akidah tauhid, terlalu menggantungkan harapan (nasib) kepada sebab (usaha), seperti menggantungkan nasib kepada dokter, pengobatan, pekerjaan dan lain-lain, tanpa menghiraukan sikap tawakal kepada Allah subhanahu wata’ala. Padahal, yang disyari’atkan ialah menempuh segala sebab (usaha) itu seperti berobat dan mencari rezki dengan tetap menggantungkan harapan kepada Allah subhanahu wata’ala, bukan kepada usaha itu.
Meramalkan kejadian yang akan datang atau hal-hal yang ghaib dengan perantaraan bintang-bintang, padahal bintang-bintang itu diciptakan (Allah subhanahu wata’ala) bukanlah untuk tujuan tersebut.
Meminta hujan dengan perantaraan bintang, planet-planet dan musim-musim serta berkeyakinan bahwa bintang-bintang yang menyebabkan tidak datangnya pada waktunya. Akan tetapi, yang menurunkan dan menahan hujan itu adalah Allah subhanahu wata’ala. Oleh sebab itu, katakanlah: “Kita dituruni hujan karena karunia dan rahmat Allah subhanahu wata’ala ”.
Dan diantara yang bertentangan dengan akidah tauhid, memberikan sesuatu dari bentuk ibadah yang berhubungan hati kepada selain Allah subhanahu wata’ala. Misalnya, memberikan rasa cinta atau takut yang mutlak kepada makhluk.
Termasuk yang dapat merusak akidah, tidak merasa khawatir kepada makar dan azab Allah subhanahu wata’ala, atau berputus asa dari rahmat-Nya. Tetapi, jadilah anda berada di antara rasa takut (dari azab Allah) dan berharap (kepada rahmat-Nya).
Tidak sabar, jengkel dan tidak menerima qadar (ketentuan) Allah. Misalnya, ungkapan mereka: “Ya Allah! Kenapa Engkau lakukan ini padaku!?”, atau: “Kenapa Engkau perlakukan si fulan seperti ini!?”, atau: “Kenapa semua ini mesti terjadi ya Allah!?” dan ungkapan lain seumpamanya, seperti meratapi orang meninggal, merobek-robek pakaian dan mengiraikan rambut.
Berbuat amal kebajikan karena riya dan mencari popularitas atau beramal karena mengharapkan kepentingan duniawi semata.
Mengikuti ulama dan pemimpin dalam menghalalkan yang haram atau mengharam-kan yang halal. Ketaatan seperti ini termasuk perbuatan syirik.
Perkataan: “Karena kehendak Allah dan kehendakmu”’ atau: “Kalau bukan karena Allah dan karena si anu”’ atau: “Saya bergantung kepada Allah dan kepadamu”. Padahal ia mesti menggunakan kata “kemudian” (sebagai ganti kata “dan”) dalam ungkapan-ungkapan di atas. Hal ini berdasarkan perintah Rasulullah, bahwa apabila seseorang bersumpah hendaklah ia mengatakan (ungkapan seperti ini): “Demi Tuhan (Yang memiliki) Ka’bah” atau: “Karena kehendak Allah, kemudian kehendakmu”. HR. An Nasa-i.
Mencela masa, zaman, hari dan bulan.
Meremehkan agama, rasul-rasul, Al-Qur’an dan Sunnah. Atau memperolok-olok kan orang-orang shaleh dan para ulama, disebabkan komitmen mereka mengamalkan dan mensyi’arkan Sunnah, seperti memelihara jenggot, memakai di atas mata kaki dan amalan-amalan Sunnah lainnya.
Memberikan nama seseorang dengan “Abdun Nabi (Hamba Nabi)”, “Abdul Ka’bah (Hamka Ka’bah)” atau “Abdul Husain (Hamba Al Husain)”. Nama-nama seperti ini tidak boleh digunakan oleh agama. Akan tetapi, nama-nama yang mengandung ‘ubudiyah (makna penghambaan) mesti disandarkan kepada nama Allah semata, seperti “Abdullah” dan “Abdul Rahman”.
Melukis gambar-gambar makhluk bernyawa, mengagungkan dan menggantungkannya di dinding atau di tempat-tempat pertemuan dan sebagainya.
Meletakkan gambar salib, melukis atau membiarkannya menempel di pakaian tanpa mengingkarinya. Padahal, yang semestinya dilakukan adalah menghancurkan atau menghilangkan.
Memberikan loyalitas (wala’) kepada orang-orang kafir dan munafik dengan cara menghormati, memuliakan, mencintai dan bangga dengan mereka, bahkan memanggil mereka dengan panggilan “sayyid” (tuan yang mulia).
Menghukum dengan selain hukum Allah subhanahu wata’ala dan menempatkan undang-undang (buatan manusia) pada posisi hukum syari’at-Nya, dengan keyakinan bahwa undang-undang tersebut tidak relevan (sesuai) untuk dijadikan hukum positif dari hukum syari’at Allah subhanahu wata’ala. Atau berkeyakinan bahwa undang-undang ter-sebut sama saja atau bahkan lebih (tinggi) kedudukannya dan lebih sesuai dengan perkembangan zaman sekarang. Sikap manusia yang menerima saja pandangan seperti ini, termasuk yang dapat menafikan tauhid
Bersumpah atas nama selain Allah subhanahu wata’ala, seperti bersumpah atas nama nabi, atas nama amanah dan lain-lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasalambersabda: “Barang siapa yang bersumpah atas nama selain Allah subhanahu wata’ala, maka sesungguhnya ia telah kafir atau syirik”. (HR. Tirmidzy dan dihasankannya)

Saudaraku kaum muslimin!

Di samping kewajiban merealisasikan tauhid dan menghindari hal-hal yang bertentangan dengannya atau dapat menafikannya, kita juga mesti berusaha agar tetap berada di dalam lingkungan metode (manhaj) Ahlus Sunnah wal Jama’ah “Alfirqah An Najiyah” (golongan yang selamat) dalam segala aspek, baik akidah maupun mu’amalah (tingkah laku). Yaitu metode generasi pertama (salaf) umat ini, dari kalangan sahabat dan orang-orang setelah mereka. Ahlus Sunnah memiliki metode (manhaj) dalam bab (iman) kepada Asma dan masalah-masalah (akidah) lainnya. Demikian juga halnya dengan masalah-masalah suluk (kelakuan), akhlak, mu’amalah dan ibadah serta segala aspek kehidupan, mereka memiliki manhaj yang jelas.

Oleh sebab itu, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam menyebutkan bahwa umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, Beliau shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Semua (golongan) itu akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Ditanyakan kepadanya: “Siapakah mereka?”. Beliau menjawab: “Mereka ialah orang-orang yang manhaj (agamanya) seperti manhaj (agama)ku dan sahabat-sahabatku sekarang”.

Beliau shallallahu ‘alaihi wasalam tidak mengatakan: “Mereka ialah orang-orang yang mengatakan ini dan itu atau yang melakukan ini dan itu ..“ saja. Akan tetapi yang mengikuti manhaj Rasu-lullah dan para sahabat dalam segala hal.

Oleh karena itu, kewajiban anda adalah:
Dalam bab Sifat, anda mesti mengimani semua sifat-sifat Allah yang disebutkan-Nya atau yang disebutkan oleh Rasul-Nya tanpa merubah (tahriif), membayang-bayangkannya (takyiif), menyamakannya dengan (sifat) makhluk (tamtsiil) dan membatalkan atau menolaknya (ta’thiif). Artinya, tidak boleh menafikan kecuali sifat yang dinafikan-Nya dan tidak boleh pula menyamakannya (dengan makhluk), berdasarkan firman Allah “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.QS. Asy Syuura: 11.
Meyakini bahwa sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah (firman Allah) yang di turunkan-Nya, bukan makhluk. Daripada-Nya berawal dan kepada-Nya akan kembali.
Beriman kepada hal-hal yang akan terjadi setelah kematian, keadaan alam kubur (barzakh) dan (hal-hal) ghaib lainnya.
Meyakini bahwa iman itu adalah perkataan dan perbuatan, meningkat seiring dengan bertambahnya ketaatan, dan menurun sesuai dengan banyaknya maksiat (dosa).
Tidak mencap seseorang kafir karena dosa yang dilakukannya selain dosa syirik, selama dia tidak menganggap halalnya dosa itu. Dan meyakini bahwa sesungguhnya pelaku dosa besar apabila bertaubat, Allah akan terima taubatnya, dan apabila ia mati sebelum bertaubat, maka ia berada di bawah masyiah (kehendak) Allah. Jika Dia berkehendaki diampuni-Nya, dan kalau Dia kehendaki disiksa-Nya terlebih dahulu, kemudian dimasuk-kanNya ke dalam surga.
Ahlus Sunnah mencintai, memuliakan dan loyal kepada para sahabat, tanpa membeda-bedakan apakah mereka dari kalangan Ahlul Bait (keluarga Rasulullah) atau bukan. Namun tidak berkeyakinan bahwa ada di antara mereka yang ma’shum. Dan sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, kemudian Umar bin Khattab, kemudian Usman bin ‘Affhan, kemudian Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Ahlus Sunnah memilih tidak mengungkit-ungkit (mendiamkan) perselisihan yang pernah terjadi di kalangan sahabat, karena para sahabat itu adalah orang-orang yang berijtihad. Barangsiapa yang benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala, dan siapa yang salah, mendapat satu pahala.
Ahlus Sunnah meyakini adanya karamah (keramat) bagi para wali. Mereka ialah orang-orang shaleh dan bertakwa. Allah Ta’ala berfirman: “Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”. QS. Yunus: 62-63.
Ahlus Sunnah berprinsip, tidak boleh melakukan perlawanan kepada pemimpin (pemerintah), selama ia masih mendirikan shalat di kalangan mereka, dan mereka belum melihat padanya kekafiran yang nyata yang dapat dibuktikan dari keterangan Allah subhanahu wata’ala.
Mereka juga beriman kepada qadar (ketentuan) baik dan buruk dari Allah subhanahu wata’ala dalam semua tingkatannya. Di samping itu mereka percaya bahwa manusia musayyar (diatur dalam berbuat) sekaligus mukhayyar (diberi kebebasan memilih). Maka Ahlus Sunnah tidak menafikan adanya qadar dan tidak pula menafikan kebebasan manusia (menentukan pilihannya), akan tetapi mereka mempercayai keberadaan keduanya.
Ahlus Sunnah mencintai kebaikan bagi segenap manusia. Mereka adalah sebaik-baik manusia, bahkan merekalah orang yang paling adil terhadap sesama.

Semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalam.

http://www.zainalabidin.org/?p=3