Kamis, 29 Juli 2010

Yang dikhawatirkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menimpa umatnya (bagian 2)

1. Para pemimpin yang menyesatkan.
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ.
"Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah para imam yang menyesatkan". (HR Ahmad).[1]
Para imam yang menyesatkan yang menyeru manusia kepada pintu-pintu neraka, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits Hudzaifah:
قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
" Aku berkata: "Apakah setelah kebaikan itu akan ada lagi keburukan ?"
Beliau menjawab: "Iya, yaitu akan ada para penyeru kepada pintu-pintu Jahannam, siapa yang mengikutinya akan dilemparkan ke dalamnya".
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, sifatkan mereka kepada kami ?"
Beliau menjawab: "Mereka dari kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita (umat islam.pen)". (HR Bukhari dan Muslim).[2]
Terlebih di zaman ini, para imam yang menyesatkan amat banyak, terutama kaum Liberal dan antek-anteknya, yang berusaha merusak aqidah islam dan melontarkan syubhat-syubhat yang dahsyat dengan berbagai macam cara, semoga Allah menghancurkan mereka dan memberikan sanksi yang setimpal dengan kejahatan mereka.
Cara jitu menyesatkan manusia.
Saudaraku, sesungguhnya para imam kesesatan itu mempunyai banyak cara dalam menyesatkan manusia, diantara caranya adalah yang dituturkan oleh imam Asy Syathibi beliau berkata: "Setiap orang yang mengikuti mutasyabihat atau merubah-rubah manath[3] atau menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih atau berpegang dengan hadits-hadits yang lemah atau memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan perbuatan atau perkataan atau keyakinan yang sesuai dengan seleranya maka ia tidak akan pernah beruntung.. barang siapa yang ingin menyelamatkan dirinya hendaklah ia tatsabbut (memeriksa dengan teliti) sampai menjadi jelas kepadanya jalan (kebenaran), namun barang siapa yang meremehkan masalah ini, ia akan dilemparkan oleh hawa nafsu dalam jurang yang tidak ada tempat keselamatan kecuali dengan apa yang Allah kehendaki".[4]
Perkataan Imam Asy Syathibi di atas menyebutkan beberapa cara yang digunakan para imam yang menyesatkan dalam mengelabui manusia, yaitu:
Pertama: Mengikuti mutasyabihat.
Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah sebagaimana firman Allah Ta'ala:
".. Adapun orang-orang yang hatinya condong (kepada kesesatan) mereka mengikuti yang mutasyabih karena menginginkan fitnah dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah..". (Ali Imran : 7).
Contohnya adalah ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta'ala, dimana dari sisi maknanya telah diketahui dalam bahasa arab namun dari sisi hakikat dan tata caranya tidak ada yang mengetahuinya selain Allah, seperti sifat yad yang artinya tangan dari sisi sini maknanya jelas namun hakikat bentuknya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, dan ahlussunnah menetapkan sifat tangan bagi Allah dan mengatakan bahwa tangan Allah tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Akan tetapi kelompok jahmiyah dan Mu'tazilah mengikuti mutasyabihat, mereka tidak dapat menerima ayat-ayat seperti ini karena mereka memikirkan hakikat dan bentuk tangan Allah dengan akal mereka yang lemah, lalu menyerupakan Allah dengan makhluknya dengan mengatakan: "Bila Allah mempunyai tangan berarti Allah berupa jasad renik yang membutuhkan satu sama lainnya". Hasilnya mereka menolak sifat ini dan menta'wil maknanya dengan mengatakan bahwa maksud tangan adalah ni'mat dan sebagainya. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
Sebagian ulama menafsirkan makna mutasyabihat bahwa ia adalah ayat yang mengandung beberapa makna dan tidak mungkin menentukan salah satu maknanya kecuali dengan merujuk ayat yang muhkam.[5] Dan makna inipun benar dan tidak bertentangan dengan ayat di atas, karena hanya Allah yang mengetahui maknanya dan makna yang benar telah Allah jelaskan dalam ayat-ayat yang muhkam, oleh karena itu sikap yang benar terhadap ayat-ayat mutsyabihat adalah dengan mengembalikannya kepada ayat-ayat yang muhkam bila ada, dan bila tidak ada maka tetap mengimaninya tanpa bertanya tata caranya. Wallahu a'lam.
ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun tata cara para shahabat, tabi’in dan para ulama hadits seperti Asy Syafi’I, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al bukhari dan lainnya adalah mereka mengembalikan dalil yang mutsyabih kepada dalil yang muhkam, dan mereka mengambil dalil yang muhkam untuk menjelaskan dalil yang mutasyabih, sehingga dalil yang mutasyabih tersebut sepakat dengan yang muhkam, dan nash pun saling berpadu; membenarkan satu sama lainnya, karena semuanya berasal dari Allah, dan yang berasal dari Allah tidak mungkin terjadi padanya kontradiksi.”[6]
Contohnya adalah kata yad, dalam bahasa arab ia mempunyai beberapa makna yaitu tangan, ni'mat dan lainnya sehingga kaum Asy 'Ariyah menolat sifat tangan dengan alasan bahwa makna yad dalam bahasa arab mempunyai beberapa makna, padahal bila kita melihat redaksi ayat yang muhkam tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tangan, Allah berfirman:
"Bahkan kedua tangan Allah terbuka, Dia berinfak sesuai dengan apa yang Dia kehendaki". (Al Maidah : 64).
Dalam ayat ini disebutkan kata yad dengan bentuk mutsanna (dua), sedangkan ni'mat Allah amatlah banyak tidak hanya dua, Allahu Ta'ala berfirman :
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya". (Ibrahim : 34).
Kedua: Merubah-rubah manath.
Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pensyari'atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya. Merubah-rubah manath adalah sifat pengikut hawa nafsu yang bertujuan membenarkan hawa nafsunya, dan cara ini amat mengelabui orang awam karena mereka akan menganggap benar apa yang dilakukan olehnya.
Seperti perkataan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa hari senin illatnya adalah dalam rangka merayakan hari kelahirannya dengan bukti ketika beliau ditanya tentang puasa hari senin beliau menjawab bahwa itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Bila kita perhatikan sekilas tampak benar namun bila kita perhatikan secara cermat dan kita bandingkan dengan pelaksanaan perayaan maulid yang ada di zaman ini akan sangat jelas kebatilan pendapat ini karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya dengan cara berpuasa sedangkan mereka melaksanakannya dengan ritual-ritual yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ini bila kita menerima bahwa illatnya adalah merayakan kelahirannya.
Akan tetapi illat ini tidak benar karena dijelaskan dalam hadits lain bahwa hari senin dan kamis adalah hari ditampakkan amal-amal shalih kepada Allah Ta'ala sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
"Amal-amal ditampakkan pada hari senin dan kamis maka aku suka amalanku ditampakkan dalam keadaan aku berpuasa". (HR At Tirmidzi dan beliau berkata: "Hadits hasan gharib".)
Perbuatan merubah-rubah manath sering kali dilakukan kaum liberal di zaman ini untuk merusak citra islam seperti perkataan mereka bahwa tujuan memotong tangan pencuri adalah agar pelakunya tidak mencuri lagi, jadi bisa diganti dengan cara lain seperti di beri uang atau dipenjara dan lainnya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentulah orang yang paling mengetahui makna-makna ayat dan beliau memperaktekan ayat potong tangan dengan cara memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangannya, dan ini adalah sanksi yang paling tepat agar mereka jera dan meninggalkan pencurian, karena kenyataan membuktikan bahwa pencuri yang sanksinya sebatas dipenjara tetap tidak jera dan kembali melakukannya, bagaimana jadinya bila diberi uang. Allahul musta'an.
Ketiga: Menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memuji tiga generasi pertama dalam sabdanya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya". (HR Bukhari dan Muslim).
Terutama generasi para shahabat yang telah dipuji oleh Allah secara khusus dalam kitab-Nya, dan menjadikan mereka sebagai parameter hidayah:
"Jika mereka beriman kepada apa yang kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka akan senantiasa berada dalam perselisihan..". (Al Baqarah : 137).
Kata ganti "kamu" dalam ayat ini adalah untuk para shahabat, artinya bila mereka beriman seperti apa yang diimani oleh para shahabat maka mereka akan mendapat hidayah dan bila tidak maka mereka akan senantiasa berselisih, dan firman Allah adalah benar sesuai dengan kenyataan yang kita saksikan dimana setiap keyakinan yang menyimpang dari keyakinan dan pemahaman para shahabat senantiasa dalam perselisihan dan permusuhan, sebagian mereka menganggap sesat sebagian lainnya bahkan saling mengkafirkan.
Para imam kesesatan selalu berpaling dari pemahaman para shahabat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya, ia akan menafsirkan ayat-ayat atau hadits sesuai dengan hawa nafsu dan pemahamannya yang dangkal, bukan hanya itu bahkan mereka menganggap bahwa generasi khalaf (belakangan) dianggap lebih faham tentang ayat-ayat Allah dari pada generasi salaf, dan menuduh bahwa salaf katanya terlalu terkstual dan tidak kontekstual sebagaimana yang dinyatakan oleh gembong JIL di negeri ini.
Secara akal saja tidak mungkin generasi yang paling fasih yang langsung menyaksikan turunnya Al Qur'an dan melihat bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menafsirkannya akan lebih bodoh dari kaum liberalis yang dungu itu, mungkinkah Allah memuji para shahabat dan menyatakan keridlaan-Nya sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 100 dan ternyata kaum liberalis lebih tertunjuki dari mereka ?!
Atau mungkinkah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya kemudian setelahnya kemudian setelahnya, dan ternyata kaum liberalis itu lebih baik dari tiga generasi yang utama ?! atau mungkinkah para ulama akan bersepakat di atas kesesatan tatkala mereka semua bersepakat bahwa para shahabat adalah sebaik-baiknya generasi dalam ilmu, pemahaman dan agama, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan ?!!
Keempat: Berpegang kepada dalil-dalil yang lemah.
Dalil yang lemah hanya menghasilkan dzann yang marjuh (dugaan yang lemah) dan dugaan yang lemah tidak boleh dipakai dengan kesepakatan seluruh ulama, bagaimana kiranya bila dalil tersebut sangat lemah atau bahkan palsu, oleh karena itu seluruh ulama bersepakat mengharamkan berdalil dengannya dalam masalah aqidah, hukum maupun fadlilah amal.
Berdalil dengan dalil yang lemah biasa digunakan di masyarakat yang dikuasai oleh kebodohan terhadap ilmu hadits, dan para imam kesesatan akan berusaha menyembunyikan kelemahan dalil yang ia pakai dengan berbagai macam upaya, seperti mengklaim secara dusta bahwa hadits itu dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim atau salah satunya padahal tidak demikian, atau membawakan sebuah lafadz yang lemah namun ada lafadz lain yang shahih akan tetapi lafadz yang shahih tersebut tidak terdapat padanya sesuatu yang dapat mendukung ra'yunya, lalu ia gunakan lafadz yang lemah dan menempelkannya kepada lafadz hadits yang shahih.
Contohnya adalah berdalil dengan kisah hadits orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memohon agar di do'akan kesembuhan untuk matanya lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan do'a kepadanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
"Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan melalui Nabi-Mu Muhammad seorang Nabi rahmat. Sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbku untuk memenuhi kebutuhanku ini, ya Allah berilah syafaat untuknya padaku". (HR At Tirmidzi).
Hadits ini dijadikan dalil bolehnya bertawassul melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah wafat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, padahal hadits ini tidak menunjukkan kepada yang pemahaman tersebut karena hadits ini terjadi ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup dan dilakukan di hadapan beliau, maka ia pun berhujjah dengan sebuah lafadz dalam salah satu lafadz dari hadits tersebut yaitu tambahan: "Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi". Tambahan inilah yang diinginkan oleh orang yang membela bolehnya tawassul melalui Nabi setelah wafatnya karena lafadz ini menunjukkan bolehnya melakukan do'a tersebut kapan ada keperluan walaupun beliau telah tiada, padahal tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, sedangkan Syu'bah bin Hajjaj meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu'bah jauh lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz oleh para ulama yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadits lemah.
Kelima: Memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan sebuah perbuatan atau perkataan atau keyakinan.
Memahami dengan pemahaman yang dangkal terjadi terkadang disebabkan oleh kemalasan untuk mencari dalil lain yang menjelaskannya atau ketidak tahuan peraktek para shahabat terhadap dalil tersebut atau lemahnya pengetahuan dia terhadap kaidah-kaidah ushul. Dan terkadang akibat hawa nafsu yang menjadikan ia memahaminya secara membabi buta tanpa menelitinya lebih lanjut.
Contoh kasus ini amatlah banyak terutama di kalangan ahlul bid'ah yang berusaha mempertahankan bid'ahnya mati-matian, seperti orang yang membuat lafadz-lafadz shalawat tertentu berdalil dengan keumuman hadits mengenai keutamaan bershalawat, atau orang yang merayakan maulid berdalil dengan ayat yang menunjukkan perintah untuk bergembira dengan karunia dan nikmat Allah dan lain sebagainya, bila kita perhatikan secara teliti sebetulnya dalil tersebut tidak mendukung apa yang mereka inginkan.
ENAM PERKARA.
أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا : إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ وَ سَفْكَ الدَّمِ وَ بَيْعَ الْحُكْمِ وَ قَطِيْعَةَ الرَّحْمِ وَ نَشْوًا يَتَّخِذُوْنَ الْقُرْآنَ مَزَامِيْرَ وَ كَثْرَةَ الشُّرَطِ .
"Aku khawatir atas kalian enam perkara: imarah sufaha (orang-orang yang bodoh menjadi pemimpin), menumpahkan darah, jual beli hukum, memutuskan silaturahmi, anak-anak muda yang menjadikan Al Qur'an sebagai seruling-seruling, dan banyaknya algojo (yang zalim)". (HR Ath Thabrani).[7]
Dalam hadits ini Nabi mengkhawatirkan enam perkara atas umatnya yaitu:
2. Orang-orang bodoh menjadi pemimpin (Imarah sufaha).
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan siapa yang dimaksud dengan imarah sufaha, beliau bersabda kepada Ka'ab bin 'Ujrah:
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ قَالَ وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي
"Semoga Allah melindungimu dari imarah sufaha". Ia berkata: "Siapakah imarah sufaha itu?" Beliau bersabda: "Yaitu pemimpin-pemimpin yang akan datang setelahku, mereka tidak mau mengambil petunjukku, dan tidak mau mengambil sunnahku. Barangsiapa yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kezalimannya, maka ia bukan dari golonganku dan aku bukan dari mereka, dan mereka tidak akan singgah di telaga haudlku. Dan barang siapa yang tidak membenarkan kedustaan mereka dan tidak membantu kezalimannya, maka merekalah golonganku dan aku dari golongan mereka, dan mereka akan singgah di telaga haudlku". (HR Ahmad).[8]
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkhawatirkan adanya imarah sufaha, karena mereka tidak mau mengambil petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam peraturan, sehingga hukum Allah dikesampingkan. Akibatnya, rusaklah kehidupan, padahal hukum Allah adalah kehidupan untuk manusia, Allah Ta'ala berfirman:
"Dan dalam qishas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa". (Al Baqarah : 179).
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
حَدٌّ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْأَرْضِ خَيْرٌ لِأَهْلِ الْأَرْضِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا أَرْبَعِينَ صَبَاحًا
"Menegakkan sebuah hadd Allah lebih baik bagi penduduk bumi dari hujan selama empat puluh malam". (HR Ibnu Majah).[9]
Indahnya hukum islam.
Dalam ayat di atas, Allah memanggil orang-orang yang berakal agar berfikir, bahwa hukum Allah adalah kehidupan untuk manusia; dalam kasus pembunuhan misalnya, bila ditegakkan qishash maka orang akan berfikir dua belas kali sebelum melakukannya, karena balasannya adalah dibunuh kembali. Pencuri akan jera, dan orang pun akan meninggalkan zina, dan manusia tidak akan berani menzalimi orang lain, karena akan diberi hukuman yang setimpal. Berbeda bila hanya dipenjara, mereka tak akan pernah jera, bahkan akan semakin merajalela.
Dalam pemilihan pemimpin, islam memerintahkan untuk menyerahkan kepada ahlul hilli wal 'aqdi yang berisi para alim ulama dan orang-orang yang berpengalaman, agar memilih pemimpin yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih, diantaranya harus seorang mujtahid, luas pengetahuannya, sehat jasmani dan rohaninya, adil, menguasai taktik perang, dan lain-lain. Berbeda bila diserahkan kepada rakyat, maka yang dapat menjadi pemimpin adalah yang paling banyak suara dan uangnya, walaupun ia berhati setan dan berbadan manusia, sehingga tidak akan mungkin lepas dari korupsi dan manipulasi, karena besarnya uang yang dibutuhkan untuk pencalonan. Bila uang itu digunakan untuk pembangunan negara, tentu akan lebih bermanfaat dari pada dihambur-hamburkan untuk mencari masa.
Islam amat memperhatikan kesejahteraan rakyat dan menghilangkan kemudlaratan dari mereka, menghancurkan kezaliman dan melarakan tindakan semena-mena, cobalah dengarkan khutbah Abu Bakar radliyallahu 'anhu, ketika beliau diangkat menjadi khalifah:
"Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpinmu, namun aku bukan orang yang terbaik diantara kamu. Maka bila aku berbuat baik, bantulah aku, dan bila aku berbuat kesalahan, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat, dan orang yang lemah diantara kamu adalah kuat di sisiku, sampai aku kembalikan haknya insya Allah. Sedangkan orang yang kuat diantara kamu adalah lemah di sisiku, sampai aku ambil hak (zakat) darinya insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, kecuali Allah akan kuasakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah tersebar zina pada suatu kaum, kecuali Allah akan meratakan adzab-Nya kepada mereka. Taatilah aku selama aku mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan apabila aku memaksiati Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan atas kamu kepadaku".[10]
3. Menumpahkan darah.
Menumpahkan darah adalah dosa yang amat besar di sisi Allah Ta'ala, dan Allah Ta'ala telah melarang menumpahkan darah dalam beberapa ayat-Nya, diantaranya Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan". (Al Israa : 33).
Allah Ta'ala menyebutkan bahwa membunuh seorang manusia dengan tanpa alasan yang benar, sama dengan membunuh semua manusia, Allah Ta'ala berfirman:
"Oleh karena itu, Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya..". (Al Maidah: 32).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Artinya barangsiapa yang membunuh jiwa dengan tanpa alasan seperti qishas, atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia semuanya, karena tidak ada bedanya bagi dia suatu jiwa dengan jiwa lainnya..".
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa membunuh jiwa tanpa alasan yang benar adalah salah satu perkara yang membinasakan, beliau bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!" Mereka berkata: "Apakah itu wahai Rasulullah?" Beliau bersabda: "Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari medan perang, dan menuduh wanita-wanita mukminah yang baik-baik". (HR Bukhari dan Muslim).
Karena jiwa seorang muslim lebih berharga dari dunia dan seisinya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا.
"Membunuh mukmin lebih agung di sisi Allah dari hancurnya dunia".[11]
4. Jual beli hukum.
Yang dimaksud dengan jual beli hukum adalah suap menyuap agar seorang hakim tidak menghukumi dengan hukum yang adil, dan ini adalah dosa yang besar dan mendatangkan laknat Allah Ta'ala. Karena kewajiban hakim adalah menghukumi manusia dengan 'adil sesuai dengan Al Qur'an dan Sunnah, maka jika hukum dapat dibeli dengan uang, akan hancurlah negeri dan binasalah manusia, kebatilan akan merajalela dan berakhir dengan datangnya adzab Allah 'Azza wa Jalla.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melaknat orang yang memberi uang suap dan yang menerimanya, beliau bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ
"Semoga Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima uang suap dalam hukum".(HR Ahmad dan lainnya).[12]
Hadits ini tegas melarang risywah (suap menyuap) dan pelakunya berhak mendapatkan laknat dari Allah Ta'ala, karena keduanya saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan. Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata[13]: “Oleh karena itu para ulama berkata, ”Siapa saja yang memberikan hadiah untuk pejabat negara dengan tujuan agar ia melakukan sesuatu yang tidak boleh, maka ia adalah haram bagi orang yang memberikan hadiah dan yang diberi hadiah dan ini termasuk risywah (suap menyuap) yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى.
“Allah melaknat yang menyuap dan yang disuap”. (HR Ahmad).[14]
Adapun jika ia memberi hadiah untuk menghindari kezalimannya atau memberikan kepadanya haknya yang wajib, maka hadiah tersebut haram bagi orang yang menerimanya saja, dan boleh bagi orang yang memberinya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنِّيْ لَأُعْطِى أَحَدَهُمْ الْعَطِيَّةَ فَيَخْرُجُ بِهَا يَتَأَبَّطُهَا نَارًا. قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَلِمَ تُعْطِيْهِمْ؟ قَالَ : يَأْبُوْنَ إِلاَّ أَنْ يَسْأَلُوْنِيْ وَيَأْبَى اللهُ لِيَ الْبُخْلَ.
“Sesungguhnya Aku memberikan kepada salah seorang dari mereka pemberian, maka ia keluar sambil membawa Neraka di ketiaknya”. Dikatakan,”Wahai Rosulullah, mengapa engkau memberinya? Beliau bersabda: “Mereka terus menerus minta kepadaku dan Allah tidak menyukai aku bakhil”. (HR Ahmad).[15]
Dan yang masuk dalam masalah ini adalah yang disebut dengan hadaya al 'Ummaal (hadiah untuk pejabat/ uang pelicin) dalam hadits berikut ini:
اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابْنُ الْأُتَبِيَّةِ عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سُفْيَانُ أَيْضًا فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا.
"Nabi shallalahu 'alaihi wasallam menugaskan seseorang dari bani Asad yang bernama ibnul Lutbiyyah untuk mengambil shadaqah, ketika ia telah kembali ia berkata: "Ini untuk kamu dan ini hadiah untukku".
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berdiri di atas mimbar, lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda: "Ada apa dengan seorang pegawai yang kami utus, lalu ia datang dan berkata: "Ini untukmu dan ini untukku". Mengapa ia tidak duduk sajadi rumah ayah dan ibunya untuk melihat apakah akan diberikan hadiah untuknya atau tidak?! Demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah ia datang membawa sesuatu kecuali ia akan datang pada hari kiamat sambil membawanya di atas lehernya; berupa untuk yang bersuara (rugha), sapi yang berkoar dan kambing yang mengembik.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putihnya ketiak beliau seraya bersabda: "Bukankah aku telah menyampaikannya?" 3x. (HR Bukhari dan Muslim).
5. Memutuskan silaturahim.
Islam memerintahkan untuk menyambung silaturrahim kepada orang-orang yang mempunyai kekerabatan dengan kita, dan memberikan pahala besar bagi yang mengamalkannya, bahkan ia termasuk perintah Allah yang paling agung, dan larangan Allah yang urgen, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ
{ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا }
"Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk sehingga apabila telah selesai, rahim berdiri dan berkata: "Ini adalah tempat orang yang berlindung dari qathi'ah (memutus tali silaturahmi)". Allah berfirman: "Ya, tidakkah engkau ridla bila aku menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu ?" rahim berkata: "Ya, Aku ridla". Allah berfirman: "Itu adalah untukmu".
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah jika kamu mau:
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang yang dilaknat oleh Allah dan ditulikan telinga mereka, dan dibutakan penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 22-24).
Allah telah menjanjikan pahala besar bagi orang yang menyambung silaturahim di akherat kelak, dan menganugerahkan karunia yang besar di dalam kehidupan dunia. Diantara keutamaan silaturrahim adalah sebagai kesempurnaan iman seorang hamba. Nabi shallallhu 'alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah ia menyambung rahimnya". (HR Bukhari dan Muslim).[16]
Diantaranya juga bahwa silaturahim dapat meluaskan rizki dan memanjangkan umur, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
"Barang siapa yang suka diluaskan rizkinya, dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia menyambung silaturahim". (HR Bukhari dan Muslim).[17]
Dan hendaknya, kita memperhatikan adab-adab yang harus dijaga dalam silaturahmi, diantara adab-adab itu adalah:
Adab pertama: Niat yang iklash, dan tidak mengharapkan keuntungan duniawi belaka.
Karena Allah tidak akan menerima amalan yang tidak ikhlas, bahkan meleburkan pahala orang yang hanya berharap keuntungan duniawi, Allah Ta'ala berfirman:
“Barang siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, pasti Kami berikan balasan atas pekerjaan mereka di dunia, dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh sesuatu di akhirat kecuali Neraka, dan sia-sialah di sana apa yang telah mereka usahakan dan terhapuslah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS Huud : 15-16).
Adab kedua: Mendahulukan yang paling dekat kekerabatannya.
Semakin dekat kekerabatan, maka menyambungnya semakin wajib, maka bila seseorang misalnya menyambung silaturahim dengan anak pamannya, namun malah memutuskan silaturahim dengan kakak atau adiknya, orang seperti ini tentunya tidak dianggap berakal. Abu Hurairah berkata:
قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ.
"Seorang laki-laki berkata: "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling layak aku berbuat baik kepadanya? Beliau menjawab: "Ibumu kemudian ibumu kemudian ibumu, kemudian ayahmu kemudian yang paling dekat dan paling dekat". (HR Muslim).
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa orang yang paling berhak mendapatkan perbuatan baik adalah kerabat kita yang paling dekat, maka seorang muslim yang faqih tentunya akan mencari yang paling besar pahalanya.
Adab ketiga: Jangan bersilaturahim hanya karena untuk membalas kebaikan saja.
Karena hakikat silaturahim adalah untuk mengharapkan keridlaan Allah dengan berbagai bentuk usaha yang mungkin dilakukan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا.
"Bukanlah orang yang menyambung silaturahim itu orang yang membalas, akan tetapi orang yang menyambung adalah yang apabila diputuskan tali silaturahimnya, ia berusaha menyambungnya". (HR Bukhari).
Dan berusaha menyambung silaturahim yang diputuskan adalah amalan yang amat agung pahalanya, karena kebanyakan manusia bila diputuskan silaturahimnya, akan segera membalas dengan perbuatan yang serupa. Disebutkan di dalam hadits bahwa seorang laki-laki berkata: "Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat yang aku berusaha menyambung rahimnya namun mereka malah memutuskannya, dan aku berusaha berbuat baik kepadanya, namun mereka malah berbuat buruk kepadaku, dan aku berusaha berlemah lembut terhadap mereka, namun mereka berbuat jahil kepadaku". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ.
"Jika keadaanmu seperti yang yang kamu katakan tadi, maka seakan-akan kamu memberi mereka makan pasir yang panas, dan Allah akan senantiasa menolongmu atas mereka, selama kamu berbuat seperti itu". (HR Muslim).
Adab keempat: Mendahulukan bersedekah kepada kerabat yang paling dekat jika mereka membutuhkan.
Anas radliyallahu 'anhu berkata: "Abu Thalhah adalah kaum anshar yang paling banyak hartanya, dan hartanya yang paling ia sukai adalah Bairaha yang berada di depan masjid. Rasulullah suka memasukinya dan minum dari airnya yang segar, ketika turun ayat:
"Kamu tidak akan mencapai kebaikan sampai menginfakkan apa yang kamu cintai". (Ali Imran: 92).
Abu Thalhah bangkit dan berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman: "Kamu tidak akan mencapai kebaikan sampai menginfakkan apa yang kamu cintai". Dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairaha, dan sesungguhnya aku sedekahkan ia untuk Allah Ta'ala, aku berharap kebaikan dan pahalanya di sisi Allah, maka letakkanlah ia sesuai keinginanmu wahai Rasulullah".
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
بَخْ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ قَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ فِيهَا وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِينَ.
"Bagus sekali, itu adalah harta yang menguntungkan.. itu adalah harta yang menguntungkan.. aku telah mendengar apa yang kamu katakan tadi, dan aku memandang untuk dibagi-bagikan kepada karib kerabatmu". (HR Bukhari dan Muslim).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada seseorang:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا
"Mulailah pada dirimu, bersedekahlah untuknya, jika berlebih maka berikanlah untuk keluargamu, dan jika berlebih maka bersedekahlah untuk kerabatmu, dan jika berlebih maka untuk ini dan itu". (HR Muslim).
Bahkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menganggap sedekah kepada kerabat yang menyimpan kebencian dan permusuhan sebagai sedekah yang paling utama, beliau bersabda:
إِنَّ أَفْضَلَ الصَّدَقَةِ الصَّدَقَةُ عَلَى ذِي الرَّحِمِ الْكَاشِحِ.
"Sesungguhnya sedekah yang paling utama adalah sedekah kepada kerabat yang membenci dan memusuhi kita". (HR Ahmad dan lainnya).[18]


[1] Al musnad no 27525 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami' no 1551.
[2] Bukhari no 7084 dan Muslim 3/1475 no 1847.
[3] Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pennsyari'atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya.
[4] Lihat ilmu ushul bida' hal 141.
[5] Lihat taisir Al Karimirrahman hal 101.
[6] I’lamul muwaqi’in hal 437 tahqiq Raid bin Shabri.
[7] Dalam Al Mu'jamul Kabiir 18/57 no 105, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih Jami' Ash Shagier no 216.
[8] Hadits shahih, Lihat shahih Targhib wattarhib no 2242.
[9]Hadits hasan, Lihat silsilah shahihah no 231.
[10] Al Bidayah wan Nihayah 5/269, ibnu Katsir berkata: "Sanadnya shahih".
[11] Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam Shahih Targhib no 2440, dari hadits Buraidah.
[12] Dikeluarkan oleh Ahmad no 9019, At Tirmidzi (no 1337) dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam silsilah dla'ifah (3/382).
[13] Majmu’ fatawa 31/286.
[14] Ahmad dalam musnadnya 2/387 no 9011. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani di dalam shahih Jami’ shogier no 5093..
[15] Ahmad dalam musnadnya 3 / 4 no 11017, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam shahih targhib wattarhib no 815.
[16] Bukhari no 6138, dan Muslim no 47.
[17] Bukhari no 5986 dan Muslim no 2557.
[18] Ahmad dalam musnadnya no 23577 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Bani dalam irwaul ghalil no 892.